Manusia paling ganteng

Manusia paling ganteng
Assalamu'alaikum......

Rabu, 28 April 2010

Dewi Sri says :

PELUANG PSIKOLOGI ISLAMI
“Ssesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwanya, (QS. As-Syams:9)


Pembicaraan (lebih tepat silang pendapat) seputar psikologi islami di Indonesia, bisa dikatakan masih sebatas lontaran-lontaran pemikiran. Urun gagasan ini terasa belum menggigit sampai tataran ilmiah yang diharapkan, namun demikian beberapa pendahuluan karya-karya yang masih deskriptif ataupun try and error mulai bermunculan. Beberapa karya boleh disebutkan disini seperti : Dilema Psikologi Muslim, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, Nafsiologi, Integrasi Psikologi dengan Islam, Psikologi Qur’ani. Paradigma Psikologi Islami dan beberapa karya tulisyang tersebar dalam berbagai jurnal dan media.

Meskipun karya-karya tersebut mulai saling terkomunikasikan, namun saya melihat masih terdapat “kemandegan” dibandingkan islamisasi ilmu pengetahuan pada bidang-bidang lainnya. Secara garis besar dapat saya rangkum persoalan yang masih menyelimuti “kemandegan” pengembangan psikologi Islami, yaitu :

a. Berkaitan dengan Istilah yang dipakai untuk mewakili secara “pas” tentang idea-idea. (dalam makalah ini saya menggunakan istilah “Psikologi Islami” )
b. Proses pemwujudan “bangunan” psikologi yang dikehendaki. Disini dapat saya pisahkan menjadi: Westernisasi Islam Vs Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan di satu pihak lain meragukan keduanya karena Ilmu adalah Islami.
c. Keinginan sebagian pihak menghendaki dibangunnya suatu “Grand theory” yang murni dibangun dari “Istilah-aksioma-dalil” dari dua sumber utama Al Qur’an dan Hadits serta hasil pemikiran tokoh Islam (khususnya sufi dan thoriqot) dan bukan menjadi “tukang” yang mengintegrasikan berbagai teori-teori Psikologi Barat (Asing) dengan “mengaduk-aduk” dengan semen ayat-ayat atau hadits-hadits.
d. Kurangnya dialog intensif dan “high level” dalam tataran ilmiah, serta dukungan berbagai pihak yang masih berjalan sendiri-sendiri. Ketiadaan lembaga penterjemah buku-buku berbahasa asing (Inggris dan Arab) yang dapat mempercepat keterlibatan mahasiswa dan alumnus psikologi ke dalam kancah perdebatan. Keterlambatan dan kelambanan informasi ini menyebabkan sebagian dari kita-peminat psikologi islami hanya mengandalkan pada saduran-saduran naskah yang tercecer di berbagai buku.

Sehubungan dengan wacana tentang psikologi islami dalam menghadapi abad 21, maka tentu saja tidak bisa terlepas dari berbagai perdebatan, bahkan saya melihat bahwa pembahasan kita saat ini, aplikasi psikologi islami terlampau “lompat pagar” (atau terlalu cepat) diperbincangkan dari persoalan utama : teori-teori dasar psikologi, yang selama ini menjadi “dinamo”-nya Psikologi : Behavioristik, Ketidaksadaran (Psikoanalisis), Humanistik. Hingga kini belum dapat dikatakan selesai “bangunan teori” yang khas islami.
Sebagai sebuah gagasan yang dapat memicu untuk melahirkan runtutan tanggapan, maka memperluas muatan diskursus psikologi islami ini tentu dapat terus dilanjutkan. Setidaknya, lontaran ini menjadi tambahan pertimbangan atas aksiologis-pragmatis tentang perlunya psikologi islami dalam menghadapi tantangan perubahan masa depan.

Tantangan dan Peluang Psikologi Islami
Sejak tahun 1980-an telah bermunculan berbagai prediksi abad 21. Beberapa tokoh futurolog seperti John Naisbit telah meramalkan berbagai perubahan dunia dan perilakunya. Pada saat yang bersamaan telah lahir orde baru di dunia filsafat : Post modernisme. Kita juga terhenyak dengan berbagai pembentukan organisasi regional dan global, seperti isue globalisasi semakin mengental dengan pencapaian teknologi informasi. Tidak ketinggalan kehadiran AFTA, NAFTA, WTO dengan isue pasar bebas dan pasar global. Dalam ketidaksiapan menghadapi pertarungan yang belum seimbang antara dunia Islam dengan Barat, diakhir penghujung 1996 juga telah lahir sebuah buku brilian dari seorang politikus dan juga Profesor di Harvard University, Amerika, Samuel P. Huntington dengan bukunya “The Crash of Civilization”. Huntington secara simplitis meramalkan bahwa peta peradaban dunia (seluruh aspek kehidupan) akan berubah menjadi tiga sekte besar : Islam, Kristen dan Konfusianisme. Islam mewakili masyarakat dan pikiran kaum muslimin (yang sebagian di negara ketiga dan dunia belahan Timur) dan Kristen mewakili (budaya dan masyarakat) dunia Barat dan Europa, serta Konfusianisme mewakili China, Jepang dan sejenis ajarannya.
Hipotesis Huntington ini cukup mendapat reaksi keras dari berbagai tokoh dunia, bahkan menuduhnya sebagai agen Yahudi yang mencoba menarik peta dunia agar terpecah menjadi tiga, bahkan sangat mungkin menjadi dua kekuatan besar, yaitu Islam versus Kristen, karena yang ketiga (Konfusian) turut berpihak dan bersepakat pada Islam. Nampaknya secara sederhana, hipotesis Huntington ini menggugat semangat universalisme dan persatuan dunia. Bahkan dianggap sebagai pemicu perselisihan di beberapa negara yang heterogenitas agamanya terkadang menghangat menjadi pertentangan dan peperangan.

Sementara itu Fuyama (1996) seorang pejabat kementrian luar negeri Amerika Serikat yang berkebangsaan Jepang, malah mengomentari tentang abad mendatang sebagai abad Kapitalisme dan Liberalisme, kedua isme tersebut dipandangnya sebagai puncak keunggulan manusia dalam peradaban. Hipotesisnya ini didasarkan pada keyakinan bahwa arah dari seluruh usaha manusia adalah kebebasan dan demokrasi.
Terlepas dari akan terbukti atau tidak hipotesis Huntington tersebut, kita sebagai Psikolog muslim patut urun-renungan, bagaimana jika hal ini benar terjadi ? Sebab pertarungan pasca perang dingin tidak lagi didominasi Demokrasi (Kapitalistik) dan Komunisme, atau Nato-Europa dan Pakta Warsawa (Uni Sovyet-al maut). Setelah runtuhnya Komunisme maka musuh terbesar Barat diramalkan adalah Islam.

Huntington mempertaruhkan satu pandangan bahwa dalam kondisi peradaban dunia di masa depan ini, sikap moderat adalah sikap yang terbaik. Ia mengasumsikan bahwa sikap fanatisme adalah ketinggalan jaman dan kurang dapat dipertahankan, namun sikap moderatlah yang paling bisa tumbuh subur dan harus disuburkan. Pada suatu seminar budaya di UMS, tercetus ungkapan bahwa “ kebenaran agama di masa mendatang tidaklah menjadi hak monopoli Islam” artinya Surga yang luasnya seluas langit dan bumi mungkin sekali menyediakan kapling untuk setiap penganut keyakinan/agama. Kebenaran adalah apa yang diyakini tetapi bukanlah kebenaran satu-satunya yang final final.
John, L. Espasito (The Islamic Threat, Miyth or Reality, 1992), justru menanggapi perubahan di masa mendatang. Ia menyatakan bahwa yang akan berhasil dalam mengarungi jaman adalah mereka yang modern sekaligus juga memiliki keyakinan terhadap prinsip-prinsip. Kemampuan di bidang penguasaan ilmu dan teknologi harus juga disikapi dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang diyakini.

Sebagai suatu ancang-ancang menghadapi dunia perubahan yang belum jelas arahnya, maka tidak salah jika kita juga mencermatinya, kita siap sebagai bangsa yang dapat berkompetisi global tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip kita yang diyakini pasti benar, sebagai wujud iman kita pada Islam.

Secara tegas sesungguhnya Allah telah menetapkan adanya pertentangan antar ideologi dan msayarakat besar : Mu’minin Vs Kafirin, Musyrikin, Munafiqin. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa abad XV hijriyah adalah abad kebangkitan Islam yang ditandai oleh suatu gelombang besar dalam hal penguasaan sains dan teknologi yang diislamisasi. Jika kita mengaca kepada Psikologi maka bisa jadi akan terjadi saling tarik menarik dan saling pengaruh mempengaruhi untuk muncul mendominasi dunia ilmu pengetahuan di bidang psikologi : Psikologi Islami Vs Psikologi Barat (Non-Islami) dan di satu pihak Psikologi Timur (Taoisme-China). Bisakah semangat persaingan ini juga memicu kebangkitan Islam di bidang ilmu psikologi ?

Benarkah psikologi berseberangan dengan agama (Islam) ?
Untuk menjawab pertanyaan ini sesungguhnya tidak mudah, kesulitannya bersumber pada tolok ukur apa yang akan dipakai ?
a. Apakah psikologi ditinjau secara keseluruhan, tanpa memilah-milah ?
b. Apakah psikologi dipandang sebagai proses yang terus berlanjut ?
c. Apakah Psikologi dipandang sebagai hasil akhir ?
Menjawab pertanyaan point a :
Psikologi itu ibarat hutan yang begitu bersimpangan berbagai pendapat, mulai dari persoalan filsafati, paradigma, teori, metoda. Mulai dari diagnosa, analisa hingga terapi. Ribuan alat tes terus lahir ada yang direvisi, ada yang paforit digunakan, tidak terpakai, kurang peminat, rumit dan simple. Tentunya dengan melihat begitu banyaknya kajian yang berserakan di hutan Psikologi, alngkah tidak simpatiknya menggelari Psikologi sebagai ilmu tidak Islami. Psikologi adalah hutan ilmu yang terbuka untuk diambil dan dimasuki. Sehingga jika kita mau bahkan bisa menciptakan hutan Psikologi sendiri yang tidak ada hubungannya dengan hutan sebelumnya!

Upaya telaah yang dilakukan tentu harus memilah-milah ! dan untuk memilah-milah betapa beratnya. Waktu dan tenaga serta konsekuensinya hanya sebagai pengkritik dan tidak sempat membangun.
Sebagian besar dari psikologi Barat, memang memisahkan Tuhan dari pengalaman subyektif manusia. Pengalaman subyektif-religius ini masih dipandang sebagai bukan ilmiah. Kalau mau diilmiahkan harus memenuhi standar ilmiah : Logis-rasional-empiris.
Barangkali standar ilmiah itulah yang harus diperbaharui. Standar ilmiah yang sekarang ini digunakan karena “diyakini”. Jadi masalah menerima atau tidak standar ilmiah tersebut sangat ditentukan seberapa besar seseorang menerimanya dengan yakin.

Menjawab pertanyaan b :
Sebuah penemuan di dunia ini jarang yang bersifat akhir, karena dia bukanlah Wahyu yang sudah final dan essensial. Berbagai penemuan ilmiah sekalipun tidaklah pernah berakhir, bahkan bisa dikatakan selalu memulai. Prinsip *****ulative, dan corrective dari ilmu menyebabkan ia selalu terbuka dan bersedia diri berubah. Ilmu selalu berkelanjutan. Konsistensi pemikiran sebelumnya yang sudah diakui dapat dipergunakan, tetapi juga bisa jadi dibantah dan diperbaiki sama sekali apabila ada dasar yang lebih bisa diterima oleh masyarakat ilmiah.

Nabi Ibrahim AS, adalah sosok contoh seorang yang berproses untuk menemukan kebenaran (haqul Yaqin). Pada tahap permulaan Ibrahim menemukan kebenaran berdasarkan indrawi mata. Ia baru menyadari akan kelemahan objek yang dijadikan Tuhan setelah menemukan fakta baru yang tidak logis, ia kemudian menemukan kembali melalui proses pencarian, Ia berganti matahari yang lebih ajek dalam memberikan cahayanya, tetapi juga gagal hanya karena pada malam hari seolah lenyap dari pandangan. Ia menggunakan rasio-nalar “bagaimana mungkin Tuhan ada dan hilang ?” Akhirnya ia menemukan kebenaran itu melalui mata hatinya (intuisi-metaempiris). Akankah kita mengatakan bahwa Ibrahim adalah seorang yang kufur lalu jadi muslim ?
Peristiwa Ibrahim ini memberikan gambaran bahwa kita tidak perlu terlalu cemas atas “ketiadaan Tuhan” dalam beberapa teori psikologi, selama manusia masih terus memerlukannya. Sebab Kebenaran pasti Menang. Tinggal bagaimana Ia datang dan mengalahkan kebathilan ! Psikologi yang berpihak kepada kebenaran Islam pasti akan datang, hanya proses itulah yang sedang kita jalani.

Melihat psikologi sebagai proses, maka tidaklah salah jika kita menggunakannya selama memperoleh manfaat. Artinya psikologi digunakan untuk sementara dalam membantu memecahkan persoalan kemanusiaan. Dari psikologi barat inilah barangkali lahir psikologi Islam. Kata dan istilah “Psikologi” sendiri tidak pernah ada dalam sejarah Islam salaf. Psikologi baru dipermasalahkan setelah kita mengenal beberapa kelemahannya dilihat dari prinsip Islam. Bahkan secara ekstrim menyebut “Psikologi jahiliyah modern”. Saya ingat perkataan Umar Ra. “Orang yang tidak mengenal jahiliah maka ia tidak akan mengenal Islam. Artinya kehadiran psikologi Barat telah cukup bagi psikolog muslim untuk juga mengenal psikologi Islami. Sebagai pembanding yang akan ditilik keunggulan dan kelemahannya, harus kita akui psikologi barat telah memberi andil yang besar bagi kelahiran psikologi Islami.

Menjawab pertanyaan c:
Kalau ada yang yakin bahwa mobil Timor S 515 adalah produk terakhir dari teknologi KIA Motor, jelas salah besar. Demikian juga yang mengatakan bahwa proses penciptaan langit ini berhenti dan sudah ajeg juga salah. Allah mengatakan senantiasa membinanya ). Seseorang yang dalam pencapaian pengetahuannya final hanyalah orang yang mati ! hakekat pengetahuan memang tidaklah berhenti. Demikian juga dengan psikologi, psikolog yang yakin bahwa hasil-hasilnya yang sekarang ini merupakan hasil akhir yang tidak berkembang dan kebenaran ilmunya dipandang berakhir, bolehlah ia digelari psikolog yang almarhum. Psikologi Islami sendiri sedang mencari bentuk, tentu saja kita harus hormat terhadap banguan psikologi yang ada.

Kebenaran Wahyu itulah yang ajeg karena ia prinsip hidup yang tidak bisa berubah. Penafsirannya yang belum tentu ajeg. saya yakin bahwa psikologi islami pun tidak ajeg karena ia adalah sebuah penafsiran terhadap manusia dan terhadap ayat-ayat Allah. Kebenaran suatu penafsiran itulah yang harus diakui sebagai relatif. Penafsiran yang manakah yang harus diakui? Allah menyatakan dalam Al Qur’an : Sesungguhnya, kewajiban Kamilah mengumpulkan (alQur’an) di hatimu (Muhammad) dan membuatmu pandai membaca )......Kamilah yang memberikan penjelasannya ). Jadi hanya Muhammad sajalah yang memahami betul isi kandungan Al Qur’an dan penafsirannya dan itu kita hanya mengetahui dari Hadits dan Sunnah serta para pewaris risalah Islam (para ulama). Jelas, bukan penafsiran tanpa konsistensi dengan penafsiran sebelumnya.

NISBAH : Psikologi dan Islam
Setiap ide baru akan selalu mengundang reaksi pro dan kontra. Tak terlepas dengan ide islamisasi psikologi dan musliminisasi psikolog. Apalagi ide tersebut menggugat sesuatu yang berkaitan dengan profesi (sebagai lahan hidup) serta nilai-nilai pribadi. Kecurigaan terhadap psikologi Barat yang telah mencabut manusia sebagai makhluk Tuhan dan kadang (psikoanalisa) menuduh aktivitas keagamaan adalah perbuatan kompensasi yang tidak ada dasar ketulusan mendasar sebagai seorang manusia, telah melahirkan sebutan-sebuatan yang agak sarkasme : “Psikologi ilmu sesat dan menyesatkan” atau “Psikologi ilmu skuler” sampai sebutan yang agak halus “ Psikologi ilmu perilaku yang tidak perlu dihubung-hubungkan dengan agama, agama ya agama, psikologi ya psikologi”. Lontaran pemikiran Malik B. Badri cukup membuat kepanasan kuping para psikolog yang sudah “terlalu yakin atas kebenaran dan kehandalan alat tes dan analisis psikologi”. Siapa yang mau dituduh tidak islami ?

Siapa yang rela disebut psikolog anti agama ?
Dua pertanyaan itu tentu diajukan kepada psikolog muslim ! sedangkan bagi mereka yang tidak muslim tentu tidak merasa peduli dengan psikologi islami atau bukan. Mungkin mereka mengkhatirkan adanya psikologi Kristiani, psikologi Hindi, Psikologi Kejawen, Psikologi Yahudi!
Jadi masalahnya adalah seputar keyakinan psikolog muslim yang belum sepenuhnya puas dengan psikologi bila diukur berdasarkan norma-norma ajaran Islam !
Lantas dimana ke-universalannya bila psikologi dilabeli Islami?

Sebelum menjawabnya, saya balik bertanya “Apakah setiap teori psikologi seutuhnya universal?” Kenyataannya tidaklah ada teori yang bisa sepenuhnya dapat diterapkan untuk semua manusia. Teori Freud tidak dapat sepenuhnya universal sebab ia tidak bisa diterapkan pada orang yang muslim atau diterapkan pada orang yang tidak meyakini kehandalan psikoanalisisnya. Teori Maslow juga tidaklah universal karena dia tidak dapat menjelaskan motivasi lillahi ta’alanya seorang muslim, atau berbuat karena Yesus, Motivasi Maslow belum menyentuh aspek ruhaniah. Adalah wajar, jika banyak tokoh yang merasa tidak puas lalu memunculkan teori baru yang dipandang bisa universal, bahkan bukan saja universal melainkan juga “totalitas”, artinya bisa mencakup seluruh aspek manusia dan tidak memilah manusia dengan kategori (domain) yang masih tidak menggambarkan manusia seutuhnya. Akhirnya, keuniversalan dan kemangkusan psikologi lebih disebabkan karena diyakini dan diterima oleh masyarakat ilmiah pada jamannya. Ketika ditemukan kekurang-mangkusan untuk menjelaskan manusia maka kepercayaan terhadap teori tersebut berkurang dan sebagai rasa hormat kepada penemunya dijadikan sebagai literatur atau referensi perkembangan ilmiah. Saya melihat bahwa bukanlah keburukan bila orang melahirkan karya, berupa teori tentang psikologi, sekalipun terbukti salah atau kurang sempurna, itulah hakekat manusia : ia selalu tidak mampu menggambarkan dirinya secara sempurna !

Dalam buku “ Man, The Unkonw” digambarkan betapa manusia sudah frustrasi mengetahui siapa dirinya. Padahal manusia sudah bermilyar banyaknya. Setiap orang pernah bertanya siapa dirinya. Ia pernah mengeluarkan pendapatnya sendiri, bahkan ada yang pendapatnya diyakininya hingga menemui kematian. Barangkali sesudah kematian itulah manusia tahu yang sesungguhnya siapa sebenarnya dirinya !
Emha Ainun Najib dalam satu essainya pernah menulis “ Berpuluh-puluh tahun manusia telah gagal mengenali siapa dirinya”. Sebaliknya saya menduga manusia akan selalu gagal mengenali dirinya.

Manusia memiliki “Ruh” yang menjadi misteri sepanjang kemanusiaan. Ruh ini adalah rahasia tak terjawab. Penggambaran tentang ruh selalu berubah. Barangkali Ruh itu sesungguhnya akan dikenali dengan seutuhnya manakala kita mencapai kematian.
Allah berfirman : “ Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Maka Jawablah Ruh itu urusanKu, Tidaklah pengetahuanmu tentangnya melainakn sedikit” ). Dari yang sedikit itupun tentu bukan dicari sendiri karena Allah sendiri yang mengajarkan tentang ruh. Dalam peristiwa keraguan Nabi Ibrahim As tentang adanya Allah. Allah mengajarkannya melalui peniupan roh ke dalam cincangan daging burung. Pelajaran peniupan Roh ini ternyata memperkuat iman yang sudah ada pada diri Ibrahim. Tidaklah salah jika psikologi Islami memasukkan unsur Ruh dalam kajiannya dengan maksud menemukan hakekat keberadaannya.

Islam memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mempertanyakan siapa dirinya. Bahkan Allah sangat menghargai pertanyaan siapa manusia itu dan kenapa manusia itu diciptakan. Malaikat yang bernada protespun tidaklah dipandang hina, asal tidak bermaksud mengkufuri. Keraguan (meragukan) untuk semakin beriman adalah sah-sah saja. Rasulullah sendiri pernah mengalami keraguan tentang apa yang telah diturunkan kepadanya, kemudian ia diharuskan bertanya kepada Orang yang telah mengetahui Kebenaran (Waroqoh bin Naufal), sehingga barulah Allah menyruhnya agar jangan menjadi orang yang ragu. Proses dari keraguan menjadi iman adalah diijinkan dan dibenarkan. Dan itu proses pencarian pengetahuan kebenaran. Jadi wajar pula bila seseorang yang mempelajari psikologi Barat kemudia meragukannya, untuk kemudia menjadi yakin setelah mengalami proses “bertanya” tentang kebenaran. Islam merupakan sumber Kebenaran, luas sekali membuka gerbang pengetahuan. Al Qur’an menantang kepada manusia untuk bisa menjelajahi langit dan dalamnya bumi. “Hai jin dan manusia, jika kamu mampu menembus langit dan bumi, lakukanlah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” . Kekuatan yang digambarkan tersebut tentu bukan saja kekuatan teknologi dan peralatan tetapi juga kekuatan manusianya. Untuk mengenal kekuatannya manusia juga perlu mengenal kelemahannya ketika berhadapan dengan alam raya yang akan dijelajahinya. “Dan akan kami perlihatkan ayat-ayat Kami dilangit dan di bumi serta pada dirimu sendiri.”

Banyak nian Al Qur’an mengungkap persoalan kemanusian dan diri manusia. Dan diyakini statement Al Qur’an dan Sunnah sebagai kebenaran. Dari sesuatu yang benar, kita dapat melahirkan proses yang benar, hasil yang benar serta manfaat yang benar pula. Dari cara pandang tentang Tuhan-alam-manusia yang benar, melahirkan pendekatan ilmiah yang benar, menurunkan bangunan teori yang benar, metode yang benar dan manfaat aplikasi yang benar. Sehingga ujungnya skesejahteraan manusia yang sesungguhnya lah yang menjadi tujuan akhir dari psikologi islami. Selamat dunia dan akhirat. “Dan dengan Kebenaran Kami menurunkan Al Qur’an dan dengan proses yang benar Kami turunkan Al Qur’an, Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai Pemnberi kabar gembira (reward kebaikan) dan pemberi peringatan (ancaman keburukan).

Sumbangan tulisan dari:Yadi Purwanto (Dosen Fak. Psikologi Univ. Muhammadiyah Surakarta (UMS).
APAKAH SEMUA ALIRAN PSIKOLOGI BARAT TAK BERJIWA ?


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A`far: 172).

Kita telah mengkritik aliran-aliran besar dari psikolgi Barat, seperti Behaviorisme dan psikoanalisis atas ketidaksanggupan mereka menghargai dan menghadapi fenomena psiko-spiritual islam yang dalam. Dalam berbagai cara aliran-aliran ini sangat dipengaruhi oleh filsafat Positivisme yang atheis. Aliran-aliran ini mungkin mempunyai konsep pesimis dan salah mengenai kodrat manusia, dan terlampau sederhana atau terlampau berprasangka untuk dapat menerangkan dan menanggapi roses-proses religius dan spiritual. Kritik umum mungkin mengesankan bahwa semua Psikologi Barat itu bersifat materialistik dan ‘tak berjiwa”, dan bahwa tak ada aliran-aliran psikologi Barat ataupun psikolog-psikolog terkemuka yang setuju dengan sebuah sikap yang lebih positif terhadap aspek spiritual manusia dan nilai-nilai religiusnya.


Nyatanya, beberapa murid pemula Freud malah menyerangnya karena pendiriannya yang atheis dan menempatkan seks sebagai tumpuan teori libidinalnya. Beberapa diantara mereka memisahkan diri dan mendirikan aliran-aliran tandingan. Yang menonjol dintara mereka adalah Karl Jung. Pada tahun 1914, Jung meletakkan jabatan kepresidenan International Psichoanalytic Society yang baru saja dibentuk. Ia kemudian mengemabangkan aliran Psikoanalitik barunya. Teori kepribadiannya jauh lebih sedikit bersikap deterministik (menetapkan) daripada psikoanalisis Freud dan lebih berorientasi pada mistik dan religius. Iapun lebih sedikit memberi tekanan terhadap peranan seks dan sikap agresif manusia.

Psikolog-psikolog islam harus membaca karya-karya Jung untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas dalam psikologi dinamik menurut pandangan agama Yahudi – Nasrani. Tapi mereka akan lebih beruntung bila mengenali aliran-aliran yang kurang bersifat mistik dan lebih up to date serta mempunyai sikap positif sederhana terhadap agama dan sebuah sistem terpakai yang jelas jitu. Diantaranya yang paling menonjol adalah Psikologi Humanistik. Aliran ini mulai muncul sebagai sebuah gerakan besar psikologi dalam tahun 1950-an dan 1960-an ketika orang-orang Amerika mulai menyadari kekosongan spiritual mereka disamping kekayaan spiritual mereka yang berlimaph-limpah. Sebagai sebuah gerakan yang luas, Psikologi Humanistik telah banyak dipengaruhi oleh psikolog-psikolog terkenal seperti Gordon Allport, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

Walaupun psikolog humanistik telah dipengaruhi oleh psikoanalisis dan behaviorisme, namun ia mempunyai ketidaksesuaian yang sangat berarti dengan kedua-duanya. Tekanan utama yang oleh behavioris dikenakan pada stimuli dan tingkah laku yang teramati, dipandang Psikologi Humanistik sebagai penyederhanaan yang keterlaluan yang melalaikan diri manusia sendiri dan pengalaman-pengalaman batinnya, tingkah lakunya yang kompleks seperti cinta, nilai-nilai dan kepercayaan, begitu pula potensinya untuk mengarahkan diri dan mengaktualisasikan diri. Maka psikologi humanistik sangat mementingkan diri (self) manusia sebagai pemersatu yang menerangkan pengalaman-pengalaman subjektif individual, yang banyak menentukan tingkah lakunya yang dapat diamati. Sehubungan dengan ini, psikolog-psikolog self humanistik jauh lebih dekat kepada konsep dualistik psiko-fisikal agama: jasmani manusia versus jiwa atau pikirannya.

Psikolog-psikolog Humanistik pun tidak menyetujui pandangan pesimis terhadap hakekat manusia dan dicerminkan oleh psikoanalisis Freud maupun pandangan netral (tidak jahat dan tidak baik) kaum behavior. Menurut psikolog-psikolog humanistik, kedua aliran itu memandang tingkah laku manusia secara salah yaitu sebagai tingkah laku yang seluruhnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan diluar kekuasaannya; apakah kekuatan-kekuatan itu berupa motif-motif yang tak disadari atau conditioning dari masa kanak-kanak dan pengaruh lingkungan. Bertentangan dengan kedua pandangan aliran tadi, seorang model Humanistik menyetujui sebuah konsep yang jauh lebih positif mengenai hakekat manusia, yakni memandang hakekat manusia itu pada dasarnya baik. Perbuatan-perbuatan manusia yang kejam dan mementingkan diri sendiri dipandang sebagai tingkah laku patologik yang disebabkan oleh penolakan dan frustrasi dari sifat yang pada dasarnya baik itu. Seorang manusia tidak dipandang sebagai mesin otomat yang pasif, tetapi sebagi peserta yang aktif yang mempunyai kemerdekaan memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dan nasib orang lain.

Para Psikolog Muslim boleh membandingkan pandangan-pandangan humanistik ini dengan konsep fitrah islam, sifat baik sejak lahir yang diberkahi Penciptanya kepada manusia, dan keyakinan islam tentang tanggung jawab manusia terhadap apa yang akan dia lakukan dalam hidup ini.

Ada lagi teori-teori psikologi barat yang sangat banyak pertaliannya dengan psikologi self humanistik, yaitu teori-teori yang dipengaruhi oleh model eksistensial. Nyatanya, banyak Psikolog-psikolog Humanistik berorientasi eksistensialisme. Psikologi Humanistik dan Eksistensialisme mementingkan keunikan-keunikan pada seorang individu, usahanya mencari nilai-nilai, dan kebebasannya untuk memuaskan diri. Namun, psikolog-psikolog yang berorientasi eksistensialisme kurang optimis terhadap kesanggupan manusia modern untuk mencapai aktualisasi diri dalam masyarakat Barat kontemporer yang sedang kehilangan “kemanusiaannya”.merekapun menekankan beberapa tema dasar yang tentu penting bagi psikolog-psikolog islam. diantara tema-tema ini, tema menghendaki arti, kecemasan eksistensial, dan menemukan ketidakadaan (kehampaan) adalah yang paling tepat.

Tema-tema ini dengan sangat indah diterangkan oleh Viktor Frankl. Ia adalah salah seoran psikiater yang berorientasi eksistensialisme yang sangat menonjol. Karyanya harus ditekuni oleh semua psikoterapis islam yang serius walaupun ada prasangka-prasangkanya terhadap agama. Viktor Frankl mendirikan aliran Psikoterapi-Logoterapi dari pengalaman pahit dan lama dalam kamp konsentrasi Nazi yang kejam. “Logoterapi” berasal dari perkataan Yunani logos yang berarti “arti/ makna” atau “spirit”. Maka logoterapi berfokus pada arti eksistensi manusia dan usahanya mencari arti itu.

Untuk menstimulasi pencarian arti dakam diri pasien-pasiennya, frankl bertanya kepada mereka yang putus asa: “…….karena kamu hidup begitu menderita kenapa kamu tidak bunuh diri?” dari jawaban-jawaban mereka, misalnya karena cinta kepada anak, ibu atau kekasih, karena pengabdian kepada tugas atau partai, Dr. Frankl bisa memunculkan dan menggabungkan semua tenaga-tenaga pendorong yang memberi arti kepada kehidupan psikik dan spiritual mereka. Motto logoterapi adalah pernyataan Nietzche yang terkenal: “Ia yang mempunyai sebab untuk hidup dapat menanggungkan hampir segala-galanya”. Baginya, sebab pokok ledakan gangguan-gangguan emosional masa kini adalah frustrasi dari kehendak manusia modern akan “arti”. Kehidupan modern telah menyebabkan manusia tak bisa melihat arti dan sebab yang sesungguhnya untuk hidup.

Jadi, kehendak akan “arti’ adalah watak dasar manusia. Frustrasi terhadap kehendak itu membawa kepada kekosongan dan eksistensial, kepada pertemuan dan ketidakadaan; dengan yang tidak hidup. Frustrasi ini terutama sekali berujud kebosanan dan “kecemasan eksistensial” yang mungkin sekali bisa membawa kepada apa yang disebut oleh Frankl sebagai “noogenic neurosis”. Noogenic neurosis adalah suatu neurosis yang timbul akibat konflik moral dan spiritual antara berbagai nilai-nilai, bukansebagai akibat konflik antara dorongan-dorongan dan instink yang diyakini oleh para psikoanalisis.

Konsep kekosongan eksistensial dan ketidakadaan ini harus mengingatkan para psikolog Islam dengan ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan dilema hidup yang tak mempercayai Allah sebagai suatu keadaan “ketiadaan spiritual” dimana seorang atheis akan kehilangan dirinya sendiri. Tuhan,dalam agama islam, adalah satu-satunya kenyataan yang benar, sedang manusia hanyalah sebuah bayangan. Maka melupakan Tuhan berarti menajuhkan diri sendiri dari sumber diri itu sendiri.
Qur’an berkata: Dan jangan seperti orang-orang yang telah melupakan Tuhan, dan Dia menyebabkan mereka itu melupakan diri sendiri atau jiwa mereka sendiri (Al Hasyr: 19)

Demikian juga seorang psikolog Muslim akan mendpatkan hal-hal yang sudah dikenalnya jika ia membaca teori-teori yang diajukan oleh frankl dan analisis eksistensial yang mengatakan: bahwa kehidupan modern dengan kekayaan materialnya dapat memperbanyak kesengsaraan dan kecemasan eksistensial bagi manusia modern. Agama Islam beranggapan bahwa arti spiritual yang diperoleh dari kepatuhan kepada Tuhan, sebagai satu-satunya makna yang benar bagi manusia dalam hidup ini. Lebih lanjut, Qur’an berkata bahwa kekayaan material sebagai suatu bentuk hukuman bagi orang hidup dalam kekosongan spiritual.
“Jangan terpesona oleh kekayaan mereka atau oleh putra-putra mereka. Maksud Tuhan adalah untuk menghukum mereka dengan harta benda dalam hidup ini sebelum jiwa mereka binasa dalam ketidakpercayaan dan pengingkaran terhadap Tuhan (At Taubah: 55).”

Seperti yang diduga, agama mendapat tempat yang tinggi dalam Logoterapi Frankl. Karena seperti katanya sendiri, agama merupakan tenaga terkuat yang memberi arti kepada penderitaan manusia yang tiada henti-hentinya. Dengarlah apa yang dikatakannya menenai peran agama di dalam kamp konsentrasi (Nazi)

Perhatian orang-orang tahanan terhadap agama adalah yang paling tulus yang dapat kita bayangkan. Kedalaman dan kuatnya keyakinan beragama asering mengherankan dan menggugah tahanan-tahanan baru. Yang paling mengesankan dalam hal ini adalah improvisasi sembahyang dan upacra-upacara disudut gubuk, atau dikegelapan truk binatang ternak yang terkunci yang membawa kami pulang dari tempat kerja yang jauh, dalam keadaan letih, lapar dan menggigil kedinginan dalam pakaian yang compang-camping.

Maka dibandingkan dengan Freud, sikap Frankl terhadap agama sangat berbeda. Dengan tajam ia mengkritik teoritikus-teoritikus yang berorientasi padapsikoanalisa, yaitu mereka-mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai kepada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia, dengan istilah-istilah dan motif-motif tak sadar dan mekanisme yang rendah. Kutipan pendek berikut ini cukup baik untuk memberikan gambaran:
Pencarian arti (makna) bagi manusia adalah merupakan suatu kekuatan primer dan bukan “rasionalisasi sekunder” dari dorongan-dorongan instink. Arti (makna) itu unik dan khusus hingga harus dan hanya dapat dipenuhi oleh manusia itu sendiri; barulah tercapai kepuasan kehendaknya akan ari (makna). Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa arti dan nilai tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Bagi saya sendiri, saya tak mau hidup semata-mata demi “mekanisme pertahanan” saya, begitupun saya tak rela mati demi “reaksi formasi”. Tapi manusia sanggup hidup maupun mati demi ideal-ideal dan nilai-nilainya.

Jika seorang psikiater seperti Frankl sanggup melihat pentingnya ideal dan nilai-nilai agama di dalam masyarakat Barat yang materialistik dan dalam agama-agama Yahudi dan Nasraninya yang mengalami degenerasi, dan sanggup melahirkan sebuah aliran psikoterapi berhasil, apakah masih ada alasan bagi para psikolog Islam untuk terus mem-beo kepada pandangan-pandangan Freud yang atheis dan psikolog-psikolog lainnya dalam masyarakat mereka yang lebih beragama dan bermoral?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar